Suara mereka seringkali tidak
didengar, dianggap angin lalu, dan kalah nyaring dengan suara-suara lain.
Namun, tak ada yang menjamin suara keras berarti lebih tulus. Hal-hal besar tidak
melulu bersumber dari sosok yang besar. Kami percaya itu. Terkadang, hal-hal
besar juga tersebar di sekeliling, bersumber dari “orang-orang biasa”.
Pada HUT ke-76 Kemerdekaan Indonesia,
kami mewujudkan keyakinan itu dengan menanyakan makna ‘merdeka’ kepada mereka, “orang-orang
biasa” yang luar biasa. Kami bertanya apa itu merdeka kepada “Emak”, lansia
berusia 72 tahun penjual kopi di pinggir jalan, juga kepada Kakek Mustaqim
(72), lansia yang tekun merawat, membaca, dan menjual buku-buku. Kami tak hanya
menemukan jawaban, kami menemukan sesuatu yang lebih berharga: harapan, doa,
ketulusan, nasihat, perjuangan menerjang hidup dan tentu saja, cerita.
Inilah makna ‘merdeka’ dari mereka,
orang-orang (luar) biasa di sekitar kita. Inilah suara mer(d)eka untuk
Indonesia pada usianya yang ke-76.
*
Perempuan berkacamata itu memang
telah berusia 72 tahun, namun tangannya masih cekatan meracik kopi dan teh di
warung kecilnya yang terletak di Jalan Sumatera, dekat KPRI Universitas Jember.
Ia sosok yang ramah dan mudah tersenyum. Ia tak ragu menyapa kami sedari belum
turun dari sepeda.
Bersama Emak, kami ngobrol tentang
banyak hal, dari dampak pandemi terhadap usahanya sampai harapan-harapannya
untuk Indonesia ke depan.
Sehat, Mak? Maaf, jarang mampir ke sini.
“Sehat, cuma kemarin habis kena
lambung, satu bulan setengah. Kamu kok makin gemuk?” tanyanya, dengan senyum
yang tak pernah berubah sejak saya pertama kali ke sana, pada 2017. Mendengar
pertanyaan Emak, kami, atau tepatnya saya, hanya tertawa.
Tetap buka sampe sore, Mak?
“Haduh, enggak, sekarang cuma sampe
jam 3, ini aja baru keluar (pukul 09.30 WIB). Sekarang sepi, Le, nggak kayak
dulu. Ini aja paling sehari dapat (kotor) 20 ribu. Kalau rame, ya,
alhamdulillah bisa 30 ribu.”
Mendengar jawaban Emak, saya merasa ada sesuatu yang menghantam ulu hati
saya. Suasana tetiba berubah. Suara lalu-lalang kendaraan di depan mendadak
hening. Pertanyaan-pertanyaan yang telah saya siapkan menghilang, pikiran saya mengambang.
Pandemi ini, batin saya, telah menyebabkan perjuangan menerjang hidup semakin memberat.
Tetapi, dari kata ‘alhamdulilah’ yang terselip, saya mendapatkan banyak sekali
pelajaran. Ada sesuatu yang besar dan berharga di sana.
Selanjutnya, dua cangkir kopi yang
kami pesan telah siap. Emak menyajikannya dan duduk di sebelah kami. Ia lantas bercerita
banyak hal tentang dirinya: suaminya yang meninggal enam tahun lalu selepas
salat, resep agar terus sehat (dengan bersyukur, berolahraga, dan berbahagia), dan
seorang dokter yang selalu makan di tempatnya semenjak mahasiswa.
“Dulu, waktu (si dokter) masih dinas
di sini, sering tiba-tiba ngirim makanan sama sembako lewat supirnya, Le. Waktu
pindah dinas ke Surabaya, juga sempet pamitan. Emak dirangkul. ‘Mak, aku wes
nggak dinas di sini, mudah-mudahan Emak sehat-sehat terus ya’ ngomong gitu.
Emak dipeluk lama. Sampe naik mobil masih noleh ke Emak, ‘Dada, Mak’,” ucapnya,
sembari menirukan dengan kedua tangannya.
Mata Emak lantas memandang lurus ke
jalanan yang lengang. Seperti mengingat sesuatu yang berharga dari masa
lalunya. Agaknya si dokter dan perpisahan yang dialaminya begitu membekas.
Saya tak heran bila si dokter begitu
baik kepada Emak. Sebab, saya yakin Emak juga begitu terhadapnya. Emak memang
kerap didatangi mahasiswa rantau untuk sekadar ngobrol di warungnya. Barangkali,
mereka melihat sosok ‘ibu’ nun jauh di rumah sana saat bersama Emak.
Mak, ini kan sebentar lagi mau tujuh belasan. Biasanya rame kah di rumah?
Saya coba memancing.
“Dua tahun ini enggak, Le, koyok
nggak keroso tujuh belasan. Sepi. Be’e wong-wong uwes gk mikir iku, pandemi ngene
mikir uripe sek,” ujarnya sambil tertawa kecil. Dua tahun ini sudah tidak, Nak, kayak tidak terasa atmosfir kemerdekaannya.
Sepi. Mungkin orang-orang sudah tidak terpikir untuk merayakan itu, pandemi begini
orang-orang memikirkan hidupnya dulu.
Saya ikut tertawa kecil sambil
membayangkan sila ke-5 Pancasila dan baliho-baliho absurd milik para politikus.
Lantas kembali bertanya. Kalau buat Emak sendiri, merdeka itu
bagaimana, Mak?
“Waduh opo yo,” katanya. Waduh, apa ya. Emak berdiam cukup lama.
Kalau harapan, mungkin, Mak, buat Indonesia ke depan?
“Harapan opo yo … harapan untuk makan
ini sudah. Sing penting bisa makan tiap harinya. Yang penting tidak terlalu
sulit cari makan. Itu aja,” jawab Emak. Harapan
apa, ya, harapan untuk makan ini saja sudah. Yang penting bisa tidak terlalu
sulit cari makan tiap harinya.
Ini dia, batin saya. Merdeka,
tidaklah melulu berarti membebaskan bangsa dari cengkeraman kolonialisme yang
celaka. Bagi sejumlah orang, ia bisa berarti lebih sederhana: bisa terus hidup
tanpa bayang-bayang kelaparan. Hidup, dan hak mendasarnya sebagai warga negara
terpenuhi. Hidup dan terus hidup dengan damai di masa rentanya.
Kami terus mengobrol dengan Emak
sekira satu jam. Saya meminta izin mengambil potret Emak lantas berpamitan.
Saya hendak menuju kediaman Kakek Mustaqim, narasumber kami selanjutnya.
“Tak dungakno cepet rabi, Le, terus
mrene numpak mobil,” katanya, saat kami berjalan menuju sepeda motor. Emak doakan supaya kamu cepat menikah, terus
nanti ke sini bawa mobil.
Saya tersenyum. Dan tentu saja
mengaminkan sekuat dan setulus yang saya bisa.
“Saiki arek wedok wes kari sitik,
kudu ndang rabi,” candanya. Sekarang anak
perempuan tinggal sedikit, (kamu) harus cepat-cepat menikah. Saya kembali
tersenyum. Mungkin karena celetuk Emak agar saya segera menikah, tetapi bisa
karena hal lain. Saya berpamitan dan berjanji akan mampir kembali dengan atau
tanpa membawa mobil.
*
Seusai mengunjungi Emak, saya
bergegas menuju kediaman Kakek Mustaqim di Kampung Ledok, RT 2 RW 22 Gebang,
Jember, Jawa Timur. Kami sampai saat beliau baru selesai mandi dan bersiap-siap
salat zuhur. Dengan keramahannya yang khas, ia menyilakan kami masuk ke ruang
tamunya yang dipenuhi buku-buku.
Di ruangan sekira 4x3 meter itulah,
ribuan buku akademik, komik, novel, dan majalah betumpuk. Beberapa juga
tergantung di atas. Di salah satu sisi dinding, ada potongan koran lokal
berbalut pigura yang memuat cerita Kakek Mustaqim ‘menua bersama buku’. Juga,
yang kelak beliau nasehatkan kepada kami, tulisan ‘Kamu dekat, Aku lebih dekat’,
potongan firman Tuhan dalam surat Al-Baqarah yang menjadi pegangan hidup beliau.
Seusai melihat-lihat dan memilih
buku, kami mengobrol panjang lebar dengan Kakek Mustaqim. Dari awal mula
kisahnya menemukan buku, berjualan, hingga perjuangannya untuk tetap bergelut
di industri perbukuan yang kian hari kian meredup. Bersama Kakek Mustaqim, kami
memutuskan untuk tidak banyak bertanya. Kami lebih memilih mendengarkan
cerita-cerita beliau. Namun, bukan berarti kami tak menemukan makna ‘merdeka’
versinya. Kami menemukan itu tersirat dalam segenap ceritanya. Juga dari
sosoknya.
Pak Mustaqim sehat? Saya mau cari buku sekaligus ngobrol dengan Bapak.
“Alhamdulilah sehat, oh iya, silakan
kalau mau cari buku-buku. Itu bagian novel, agama …” Ia lantas masuk ke sebuah
ruangan sebentar, berganti pakaian, menenteng dua buah kursi plastik dan
kembali bergabung bersama kami.
Kalau boleh tahu, Pak Mustaqim berjualan buku sejak kapan, Pak?
“Dulu, awalnya saya jualan koran,
kalau nggak salah tahun 1963. Keliling dari pasar tanjung sampai rumah sakit
Soebandi di Patrang. Terus, ada toko buku yang tutup, saya ditawari buat
ngganti buku-bukunya. Awalnya saya ragu, darimana uangnya buat modal? Untungnya
yang jual bilang, ‘sudah, dibawa dulu, uangnya belakangan saja’. Sejak itu saya
mulai nggelar lapak di dekat pasar tanjung, jualan buku. Ternyata yang beli banyak
sekali, sampe antre. Saya sampai panas-dingin memegang uang segitu,” kenangnya.
Ia lantas bercerita bagaimana iklim
perbukuan dulu dan hari ini. Juga perjuangannya bertahan di sana. Sekitar tahun
1998-2004an ia sempat berhenti berjualan buku. Menyerah, katanya, ia merasa tak
enak dengan istrinya sebab saban hari tak satu pun buku-bukunya laku.
“Saya sampai keliling ke
sekolah-sekolah, ternyata mereka sudah tidak memakai buku yang lama. Sudah
berganti kurikulum. Tiap hari saya berkeliling dan tak satu pun buku yang
terjual.”
Saya menemukan sesuatu yang berharga
dari Kakek Mustaqim. Sebab, ia bukan sekadar menjual buku, hingga usianya yang menyentuh
72 tahun, ia masih tekun membaca buku-buku. Kepada kami, ia berpesan agar
sebisa mungkin membaca buku, meski hanya sebentar.
“Kuncinya, jangan meninggalkan salat,
patuh dan menyenangkan ibu, jangan lupa sedekah, dan terus cari ilmu. Sudah,
itu saja dijalani, Nak, nanti lihat sendiri buahnya,” pesannya.
Meski tidak menemukan arti merdeka secara
tersurat dalam obrolan, namun kami menemukannya dari sosok Kakek Mustaqim
sendiri. Bagaimana ia memilih dan menerjang hidup, bagaimana ia begitu tulus
merawat dan menekuni buku-buku, bagaimana ia terus belajar dan haus akan ilmu
di usianya yang tak lagi muda. Dari sosoknya, kami menemukan makna ‘merdeka’
yang tak ternilai. *