Gadis cilik bersuara lembut asal satu
desa di Garut dekat pegunungan Jawa Barat itu baru berusia tiga belas. Sebut
saja namanya “Ayu” dan seperti kebanyakan anak petani di wilayah pedesaan,
sedari kecil ia telah ‘akrab’ dengan ladang. “Sejak kecil saya sudah pergi ke
ladang,” katanya, “Orangtua saya menanam tembakau, saya sering membantu
orangtua dan terkadang juga tetangga saya.”
… Ayu berkata kerap muntah-muntah setiap tahun saban memanen tembakau: “saya muntah saat terlalu lelah memanen dan mengangkut daun tembakau. Perut saya seperti... saya tak bisa jelaskan; mulut saya bau. Saya muntah bekali-kali… Ayah membawa saya pulang. Itu terjadi saat kami panen. Cuaca panas, dan saya sangat lelah… Baunya tak enak saat panen. Saya selalu muntah setiap kali memanen.”
*
Cerita di atas dikutip dari laporan Human Rights Watch berjudul “Panen dengan Darah Kami: Bahaya Pekerja Anak di Pertanian Tembakau di Indonesia” yang dirilis pada Mei 2016. Ironisnya, dalam laporan tersebut Ayu hanyalah satu dari sekian banyak anak yang terpaksa menghabiskan waktu di luar aktivitas sekolah dengan bekerja di sektor pertanian tembakau. Ayu hanya satu dari sekian banyak anak yang berpotensi mengidap keracunan nikotin akut, Green Tobacco Sickness, dan sejumlah masalah kesehatan akibat bersentuhan dengan zat kimia pestisida.
Meski laporan tersebut dirilis 5 tahun silam, bukan berarti sudah tak ada lagi ‘Ayu’ dan anak-anak lain yang masuk kategori ‘Pekerja Anak’ hari ini. Terlebih, pandemi Covid-19 turut memperparah situasi. Penelitian International Labour Organization (ILO) pada pertengahan 2020 menyebut pandemi Covid-19 berpotensi meningkatkan jumlah pekerja anak untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir.
Kabupaten Jember dengan luas lahan tembakau sebesar 13.391,83 ha tentu tak luput dari isu pekerja anak, utamanya di sektor pertanian tembakau. Kajian SEMERU Research Institute pada April 2020 menemukan prevalensi pekerja anak di sejumlah desa di Kabupaten Jember mencapai angka 14, 31 persen. Angka ini jauh di atas prevalensi pekerja anak di tingkat nasional (6,9 persen) dan di Asia Pasifik (9,3 persen).
Temuan-temuan ini hanya menandakan satu hal: diperlukan kerja ekstra dan kolaborasi banyak pihak demi menekan angka pekerja anak, terutama di sektor pertanian tembakau dan mewujudkan Indonesia Bebas Pekerja Anak pada 2022.
Berangkat dari permasalahan ini, Imaji Sociopreneur berkolaborasi dengan PT. Universal Tempu Rejo meluncurkan program pemberdayaan masyarakat bertajuk ‘ALP Village’ dengan tujuan utama: menekan angka pekerja anak melalui pendidikan minat dan bakat (Imaji Academy), mewujudkan kemandirian masyarakat utamanya petani tembakau melalui pendampingan UMKM (Sociopreneur Community) dan pendirian bank sampah (Waste Bank) yang dilakukan secara berkelanjutan. Program yang dimulai sejak Juni 2021 ini menyasar 7 desa di wilayah utara dan selatan Kabupaten Jember, yakni Desa Slateng, Lembengan, Sabrang, Andongsari, Kesilir, Bagon, dan Balung Lor.
Imaji Academy
Kami
melihat dampak pandemi Covid-19 di sektor pendidikan cukup serius. Dampak yang paling
kentara ialah meningkatnya jumlah anak putus sekolah dan prevalensi pekerja
anak utamanya di desa. Pembelajaran daring menyebabkan anak-anak memiliki
banyak waktu luang di rumah. Di sisi lain, tidak semua orang tua memiliki waktu
dan kapasitas untuk menemani anak belajar dan bermain. Ditambah faktor lain
seperti ekonomi, sosial, dan budaya, maka potensi anak putus sekolah dan masuk
kategori pekerja anak akan semakin besar.
Melalui Imaji Academy, Imaji Sociopreneur berkomitmen turut andil mengatasi permasalahan-permasalahan pendidikan di atas. Menggandeng Yayasan MIMPI Indonesia, kami menawarkan konsep pendidikan alternatif (minat dan bakat) bagi anak berusia 5-15 tahun dengan 3 fitur unggulan: literasi, agriculture, dan sociopreneur.
Dimulai
dari proses pemetaan minat dan bakat, nantinya anak-anak akan didampingi secara
rutin selama 6 bulan oleh para tutor yang memiliki keterampilan di bidangnya.
Selain itu, kami juga menggandeng kelompok sosial dan pegiat pendidikan di
masing-masing desa untuk turut serta sebagai ‘kawan belajar’ di program Imaji
Academy.
Di sela-sela materi dan praktek
fitur, Imaji Academy juga memiliki sejumlah kegiatan yang menunjang
pembelajaran minat dan bakat anak. Yakni, pendirian Taman Baca, Taman Edukasi
sebagai sarana anak mempelajari ilmu pengetahuan alam dan lingkungan
berdasarkan keanekaragaman flora dan fauna lokal, event Traditional Sport Championship (Transport) sebagai sarana
pelestarian permainan tradisional setempat, dan pameran produk dan karya
bertajuk Imaji Creative Event (ICE).
Melalui Imaji Academy, kami
bercita-cita menyeimbangkan pendidikan formal dan non-formal bagi anak
sekaligus mencegah anak-anak bekerja di sektor pertanian tembakau. Sebab bagi
kami, anak-anak adalah aset utama bangsa ini dan anak-anak, tak lain adalah
pesan yang kita kirimkan ke masa yang tak akan kita temui.
Sociopreneur
Community
Faktor
ekonomi dan sosial turut mempengaruhi meningkatnya jumlah pekerja anak dan anak
putus sekolah. Berdasarkan proyeksi SEMERU Research Institute, pandemi Covid-19
berkontribusi meningkatkan angka kemiskinan menjadi 12,4 persen pada 2020.
Dampak lebih lanjutnya, sekitar 11 juta anak dari rumah tangga rentan
berpotensi menjadi pekerja anak.
Untuk menekan munculnya pekerja anak akibat himpitan ekonomi, Imaji Sociopreneur meluncurkan program pendampingan kewirausahaan berbasis sosial dengan sasaran para istri petani; ibu-ibu, dan pemuda-pemudi di desa. Fokus program ini adalah membentuk dan melakukan pendampingan terhadap kelompok-kelompok wirausaha hingga mampu mengoptimalkan potensi produk lokal dan menyerap tenaga kerja.